-
0 Comments
Sejarah Sunan Giri
(Biografi, Dakwah, dan Keteladanan)
Sunan Giri adalah salah satu tokoh penting dalam penyebaran Islam di tanah Jawa. Beliau sebagai wali songo yang memiliki peran besar dalam mendirikan pesantren, menyebarkan ilmu fiqih, hingga menciptakan tembang dan permainan tradisional sebagai sarana dakwah. Artikel ini akan membahas secara lengkap tentang sejarah, perjalanan hidup, strategi dakwah, hingga peninggalan Sunan Giri.
Biografi Sunan Giri
Sunan Giri memiliki nama asli Raden Paku, putra dari Maulana Ishaq, seorang ulama ternama di Pasai sekaligus adik dari Maulana Malik Ibrahim. Ibunya bernama Dewi Sekardadu, putri dari Raja Blambangan, Prabu Menak Sembuyu.
Kelahiran Raden Paku terjadi ketika Blambangan mengalami penyebaran wabah penyakit yang merajalela. Karena dianggap lahirnya membawa kutukan, maka orang tua bayi membuangnya ke laut. Namun, takdir Allah mempertemukan bayi itu dengan Nyai Ageng Pinatih, seorang pengusaha besar dari Gresik. Ia kemudian memberikan nama Jaka Samudera karena bertemu di samudera.
Tempat Sunan Giri Menuntut Ilmu
Sejak kecil, Sunan Giri dikenal rajin dan cerdas. Pada usia 12 tahun, ia menimba ilmu di Pesantren Ampeldenta milik Sunan Ampel. Di sana, ia bersahabat karib dengan Makhdum Ibrahim atau Sunan Bonang.
Sunan Ampel kemudian mengirimnya belajar ke Pasai (Aceh) untuk berguru kepada Maulana Ishaq, ayahnya sendiri. Di sana, ia memperoleh ilmu laduni, yaitu ilmu yang langsung diberikan Allah tanpa perantara guru. Karena keistimewaan ini, ia mendapatkan nama baru: Maulana Ainul Yaqin.
Perjalanan Dakwah Sunan Giri
Setelah menuntut ilmu, Sunan Giri kembali ke Jawa. Namun sebelum menetap, ia berkeliling nusantara sambil berdagang untuk membantu ibu angkatnya. Perjalanan dakwahnya meliputi Bawean, Madura, Lombok, Ternate, Tidore, hingga Kalimantan Selatan.
Melalui perjalanannya, banyak pesantren berdiri di wilayah nusantara. Hal ini membuatnya mendapat julukan sebagai Penyebar Pesantren Nusantara. Akhirnya, ia menetap di Gresik dan mendirikan Pesantren Giri, yang berkembang menjadi Kerajaan Giri Kedaton. Sebagai pemimpin, ia bergelar Prabu Satmata dan terkenal juga dengan sebutan Sultan Abdul Faqih karena kepakarannya dalam ilmu fiqih.
Selain fiqih, Sunan Giri berdakwah melalui seni. Ia menciptakan tembang Jawa seperti Asmarandhana dan Pucung, serta permainan tradisional anak seperti Jamuran, Cublak-Cublak Suweng, Jor, Jelungan, dan Padhang Bulan. Metode ini membuat dakwahnya mudah diterima masyarakat.
Strategi Dakwah Sunan Giri
Beberapa strategi yang digunakan Sunan Giri dalam menyebarkan Islam antara lain:
- Mendirikan masjid dan pesantren Giri
- Mengajarkan Islam lewat tembang dan permainan anak
- Berdakwah dengan kepemimpinan yang merakyat
- Menyebarkan Islam sambil berdagang ke berbagai daerah
- Mengembangkan pendidikan terbuka
- Mengubah dukuh menjadi pesantren sebagai pusat ilmu
Peninggalan Sunan Giri
Beberapa peninggalan bersejarah yang masih bisa ditemukan hingga kini adalah:
- Masjid dan Pesantren Giri di Gresik
- Makam Sunan Giri di Giri Gajah, Kabupaten Gresik
- Karya seni berupa tembang Asmarandhana dan Pucung
Keteladanan Sunan Giri
Sunan Giri meninggalkan banyak keteladanan yang bisa diteladani generasi sekarang, di antaranya:
- Pemimpin yang adil dan mengayomi rakyat
- Santri yang cerdas, rajin, dan tekun
- Dai yang toleran dalam berdakwah
- Seorang seniman kreatif yang memanfaatkan budaya untuk dakwah
Nama-Nama Lain Sunan Giri
Sepanjang hidupnya, Sunan Giri dikenal dengan beberapa nama dan gelar, yaitu:
- Raden Paku → nama pemberian ayahnya
- Jaka Samudera → nama dari Nyai Ageng Pinatih karena ditemukan di laut
- Maulana Ainul Yaqin → gelar saat memperoleh ilmu laduni
- Prabu Satmata → gelar ketika memimpin Kerajaan Giri Kedaton
- Sultan Abdul Faqih → gelar sebagai ahli fiqih dunia
- Sang Hyang Girinoto → gelar karena jasanya dalam seni pewayangan dan pemerintahan
Penutup
Sunan Giri adalah sosok wali songo yang berperan penting dalam menyebarkan Islam di nusantara. Dengan strategi dakwah yang cerdas, toleran, dan kreatif, beliau berhasil mendirikan pusat keilmuan yang berpengaruh hingga kini. Warisan pesantren, masjid, tembang, hingga permainan tradisional anak-anak membuktikan bahwa dakwah bisa berjalan harmonis dengan budaya.